Selasa, 29 November 2016

Aku, Kamu dan Kenangan

Aku menghela nafasku turun dari pesawat yang membawaku sampai ke tempat ini. Sebuah kota kecil yang sudah pernah kupijaki saat aku masih kuliah dulu, Ontario, Canada. Tidak terasa sudah lebih dari 3 tahun aku meninggalkan tempat ini dan akhirnya aku kembali lagi kesini pada hari ini. Sebenarnya semuanya masih sama, tempat ini masih menjadi salah satu destinasi wisata favorit di negara ini, hanya saja kali ini aku kembali sendirian, tidak bersama dengannya.

Aku berjalan sambil menyeret dua koper yang kurasa semakin berat untuk keluar dari Airport. Aku bersyukur cuaca tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin hari ini, karena aku tidak ada persiapan sama sekali dengan cuaca disini. Di depan pintu utama Airport terlihat driver taxi yang sudah sedari tadi menunggu kedatanganku. Ia bertugas mengantarkanku ke apartemen yang akan aku tinggali entah sampai kapan.

Namaku Diarien Yonata. Panggilanku Diar. Aku adalah seorang penulis. Aku sudah menulis berbagai cerpen dan novel yang sudah banyak ditemukan di setiap toko buku terkenal. Alasanku ada di tempat ini adalah karena aku ingin berlibur. Ya semua orang perlu itu bukan? Tetapi jika dipikir pikir lebih tepatnya aku disini untuk menghilang dari kenyataan hidupku yang sebenarnya. Aku merasa sebagai satu-satunya orang di dunia yang memiliki takdir tidak begitu baik karna aku sendirian. Orang tuaku? Entahlah. Aku tidak pernah tau mereka ada dimana. Sejak awal aku dititipkan di sebuah panti asuhan dan besar disana.

Semuanya baik-baik saja. Aku tidak pernah membenci hidupku dikarenakan Tuhan yang tidak memberi aku kesempatan untuk bertemu orang tuaku. Aku bahagia tumbuh di panti asuhan hingga aku sudah cukup umur untuk mandiri. Saat umurku 9 tahun aku sudah suka membaca, aku suka menulis dan mengarang. Aku mengungkapkan apa yang aku rasakan dengan tulisan. Aku lulus SMA dan mendapatkan beasiswa untuk kuliah ke luar negeri, tepatnya di sini, di Canada.

Seseorang menelponku saat aku baru membuka pintu apartemen. Dia adalah salah satu sahabatku yang berasal dari tempat ini. Ia hanya bertanya apakah aku sudah tiba atau belum dan mengajakku untuk bertemu nanti malam disuatu tempat. Ia mengatakan bahwa ia sangat merindukanku. Namanya Adeline. Ia akrab disapa Adel. Adel satu-satunya orang yang melihat kenyataan hidupku bersama dia. Kami kuliah di tempat yang sama.  Kami seangkatan.

Aku duduk ditepi sebuah danau yang sangat indah. Aku termenung. Aku seperti kembali ke masa lalu. Masa 3 tahun lalu dimana aku disini bersama dia. Waktu itu kami tertawa bersama. Bahagia sekali rasanya bisa melihat keindahan alam seperti ini dengannya. Dia Gladio Andreano, aku memanggilnya Gino. Lelaki yang aku temui dan dengan setia menemaniku selama aku kuliah di negara asing ini. Aku tersenyum. Seandainya dia ada disini bersamaku.

Aku pulang dan membersihkan diri untuk segera bertemu Adel. Aku keluar dengan payung di tangan. Malam ini gerimis mengguyur kota ini. Halte begitu sepi. Sudah 15 menit aku menunggu salah satu bus yang bisa membawaku. Hujan mulai bertambah deras. Dingin semakin kurasakan di malam pertama aku disini. Aku meletakkan tanganku di bawah guyuran hujan. Tiba-tiba seorang pria menyentuh pundakku dan menyadarkanku dari lamunan. Ia mengatakan bus yang kutunggu sudah datang.


Aku memasuki sebuah resto dan langsung mencari Adel. Kutemukan dia sedang asik melihat-lihat menu. Aku duduk berhadapan dengannya dan dia langsung berteriak memelukku. Ia terus mengoceh dan mengatakan banyak perubahan yang terjadi di diriku. Ia mengatakan aku semakin kurus dan memuji program dietku. Aku mendengarkan setiap kata yang ia keluarkan dan terkadang tersenyum. Sesaat kemudian atmosfer menjadi berubah karna dia menanyakan sesuatu yang berhubungan dengan sebuah nama, Gino. Dia bertanya bagaimana kabarku setelah Gino pergi, apakah aku masih belum bisa melupakannya, apakah sudah ada pria beruntung yang bisa mengantikan posisinya di hatiku. Aku terdiam. Aku menarik nafasku dan tersenyum. Aku mengatakan bahwa tidak ada yang bisa menggantikannya, siapapun itu.

Aku pulang sendirian dengan menggunakan bus lagi. Kali ini aku tidak perlu menunggu lama. Aku kembali merenungi jawabanku dari pertanyaan Adel tadi. Aku masih ragu dengan jawabanku yang berkata bahwa tidak ada seorangpun yang bisa menggantikan Gino dihatiku. Bus berhenti di tujuanku. Aku menuruni tangga bus dan melihat seorang pria tersenyum padaku. Dia adalah pria yang menyadarkanku dari lamunanku saat aku pergi tadi. Dia menghampiriku dan menyerahkan sesuatu. Ternyata dia menyerahkan beberapa kunci. Dan ternyata itu adalah kunci apartemenku yang terjatuh dari tasku saat aku akan naik ke atas bus tadi. Dia berkata bahwa dia akan menungguku kembali karena dia yakin aku akan kembali lagi untuk mencari kunci itu. Oleh karena itu dia tetap menunggu dan tidak beranjak sedetikpun. Aku merasa bersalah karena membuatnya menunggu terlalu lama. Dia menawarkan untuk mengantarkanku pulang ke apartemen dan akupun menyetujuinya.

Belum seberapa jauh dari halte, tiba-tiba hujan kembali turun dengan derasnya. Akupun menggunakan payungku bersamanya. Pria itu bernama Ravo. Dia mengatakan bahwa apartemennya tidak terlalu jauh dari apartemen milikku. Sesampainya di depan apartemenku ia berniat mengembalikan payung milikku tetapi aku menolak. Hujan masih sangat deras dan ia tidak menggunakan payung? Ah tidak masuk akal. Biarpun tempat tujuannya tidak jauh tetapi dia akan tetap basah kuyup jika tidak menggunakan payung. Aku memaksanya untuk membawa payung itu. Ia bisa mengembalikannya kapanpun ia mau. Ia pun akhirnya mengalah dan pergi. Aku langsung memasuki apartemen dan menghempaskan badanku di tempat tidur. Lelah sekali rasanya. Tidak berapa lama akupun terlelap.

Keesokkan harinya aku bangun pagi untuk sekedar bersepeda di sekitar kompleks apartemenku. Aku mengayuh sepedaku di bawah sinar matahari yang tidak terlalu cerah. Setelah beberapa kali berkeliling aku duduk di sebuah bangku di bawah pohon rindang, sejuk sekali. Aku memutar musik kesukaanku dengan earphone. Seseorang yang entah datang darimana duduk disebelahku. Aku cuek. Lagipula ini tempat umum, dia tidak harus meminta ijin padaku untuk duduk di bangku itu. Ia melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku. Aku ingin memarahinya tetapi saat aku menoleh aku melihat senyum yang sudah kukenal, Ravo. Dia tertawa karna sukses membuatku kesal. Aku masih berpura-pura marah dan langsung menyeret sepedaku. Ia mengikutiku. Ia minta maaf karena ia mengira aku benar benar marah saat itu. Aku tidak kuat menahan tawaku melihat mukanya yang memelas dan menyedihkan. Aku mengatakan padanya untuk bertanggung jawab karena sudah membuat moodku berantakan di pagi ini. Dia setuju. Dia mengatakan akan mengajakku ke semua tempat tempat indah di kota ini yang mungkin belum pernah kukunjungi.

Seharian ini aku menghabiskan waktu bersama Ravo, seperti janjinya kemarin. Kami pergi ke tempat dimana tidak ada seorangpun yang aku kenal kecuali Ravo. Kami berjalan ke sebuah danau. Entah kenapa danau ini sangat-sangatlah sepi. Bahkan hanya kami berdua saja yang berada di sini. Ravo bercanda mengatakan ia telah membayar banyak untuk membuat danau ini menjadi sesepi ini. Ah aku tau dia berbohong. Mungkin memang tidak banyak yang mengetahui tempat ini atau mungkin karena ini terlalu sulit untuk dijangkau.

Hari kedua Ravo mengajakku camping. Kami berada di kaki gunung. Pemandangan yang indah sekali. Ada sebuah sungai kecil yang sangat jernih dengan ikan yang berenang kesana kemari. Kami mendirikan tenda masing masing dan menghidupkan api unggun di malam hari. Kami bernyanyi dan bercerita tentang diri masing-masing hingga larut malam. Aku memandang langit seakan ingin bercerita, sekarang kau melihatku tersenyum bukan?

Hari selanjutnya kami pergi berkeliling kota, kami mengabadikan setiap moment bersama. Berjalan mengelilingi taman, bersepeda, memberi makan burung-burung yang terbang bebas dengan ceria, menikmati ice cream, membeli barang-barang unik yang terlihat menarik, ini sungguh menyenangkan. Sudah lama rasanya aku tidak tertawa sebebas ini.
Jam dindingku menunjukkan pukul 8 malam. Aku menenteng tas belanjaku dan meletakkannya di meja samping tempat tidurku. Aku membaringkan badanku dan mulai membuka satu persatu tas belanja yang kubawa tadi. Aku menemukan foto-fotoku selama mengelilingi kota seharian ini. Aku menemukan fotoku bersama Ravo dengan pose yang sangat konyol. Lama aku tersenyum memandangnya hingga aku tersadar bahwa senyuman telah mengukir wajahku akhir-akhir ini karena Ravo. Aku bahkan hampir tidak  pernah mengingat nama Gino. Bagaimana ini? Aku tidak mungkin  mencintainya. Gino, apa kamu tau bahwa aku memiliki rasa yang berbeda jika bersama Ravo? Oh kuharap kau tidak tau. Aku sudah berjanji untuk tidak pernah melupakanmu walaupun akhirnya kau meninggalkanku. Maafkan aku. Tidak terasa air mataku jatuh lagi malam ini.

Pagi-pagi sekali aku sudah mengirimi sms kepada Ravo untuk tidak menjemputku. Aku mengatakan hutangnya sudah lunas karna itu ia tidak perlu menemaniku untuk keluar lagi. Aku menyesal telah melibatkan ia di hidupku. Aku akan menyendiri untuk hari ini. Aku tidak akan berbohong. Aku berjani padamu bukan? Aku akan tetap menjaga rasa ini untukmu. Tetap setia bersamaku ya?

Aku tertidur di sofa dan handphoneku berbunyi. Dari Adel. Dia mengatakan bahwa ia sudah berada di depan apartemenku saat ini. Aku melirik jam. Sudah tengah hari. Aku membuka pintu apartemen dan Adel langsung masuk. Ia menertawakanku karena belum mandi sedari pagi. Ia memaksaku masuk ke kamar mandi dan menyuruhku secepatnya membersihkan diri karena ia akan mengajakku mengelilingi kota. Aku tersenyum, sepertinya aku tidak harus mematahkan semangatnya dengan bercerita bahwa kemarin aku sudah cukup puas mengelilingi kota ini bersama Ravo.

Selama di perjalanan Adel menceritakan apa yang dilakukannya selama beberapa hari terakhir sehingga Adel tidak bisa menemaniku. Ia mengatakan atasannya memberinya banyak pekerjaan rumah. Adel bertanya apa yang aku lakukan selama beberapa hari ini. Aku tidak bisa menyembunyikannya lebih jauh. Lagipula aku sepertinya perlu seseorang yang bisa ku ajak bercerita.

Aku menceritakan seseorang mengajakku keluar beberapa akhir ini. Kami menghabiskan beberapa hari ini berdua, hanya berdua saja. Adel mengejekku karena aku bercerita sambil sembari tersenyum. Dia mengatakan bahwa aku jatuh cinta kepada orang yang telah menemaniku. Aku sengaja tidak memberi tau namanya kepada Adel. Aku pikir itu tidaklah penting dan sepertinya Adel tidak terlalu ingin tahu tentang siapa dia.

Adel sudah menunggu sambil berbaring di tempat tidurku. Hari ini ia mengajakku pergi lagi. Kali ini kami akan pergi untuk berbelanja. Ia mengatakan hanya dengan berbelanja ia bisa melupakan segala hal yang membuatnya stres akhir-akhir ini. Pekerjaannya menumpuk, atasannya sering marah-marah karena banyak karyawannya cuti. Aku memoles bedakku secara perlahan dan tiba-tiba ada seseorang memencet bel di luar. Aku menyuruh Adel untuk membukakan pintu tetapi ia mengatakan bahwa ia sedang malas untuk bangun dari tempat tidurku. Akhirnya akupun membuka pintuya dan melihat Ravo. Aku bingung kenapa ia tidak menghubungi lebih dulu sebelum kesini. Lalu ia menunjukkan sesuatu, payung. Ya payungku yang aku pinjamkan saat hari pertama kali kami bertemu. Ravo ingin mengembalikannya dan ingin mengajakku keluar tapi aku berkata bahwa aku sudah ada janji dengan sahabatku. Iapun memaklumi dan berkata bahwa ia akan datang lagi besok.

Ravo datang keesokan harinya dengan membawa bunga mawar putih. Kami pergi ke sebuah cafe yang sangat romantis. Ia berkata bahwa hari ini dia sangat bahagia, sepertinya langit sedang secerah hatinya hari ini. Ravo menanyakan tentang novelku. Dia berkata bahwa ia ingin membaca novel terbaruku. Aku ingin membuat novel pendek tentang pertemuanku dengannya dan aku berjanji. Ia tersenyum. Adel menelponku dan mengatakan bahwa ia mempunyai kabar baik dan besok ia akan menceritakannya. Aku penasaran. Sepertinya kabar baik ini sangat berarti untuk Adel.

“Aku akan menikah”, teriak Adel saat memasuki pintu apartemenku. Dia terlihat sangat bahagia. Aku turut senang. Akhirnya salah satu dari kami akan melepaskan masa lajang. Ah seandainya kamu tidak pergi bukankah kita yang lebih dulu ada di posisi ini? Aku tau bagaimana bahagianya Adel  sekarang, tetapi ia tidak terlalu memperlihatkannya, mungkin ia menjaga perasaanku yang masih trauma akan pernikahan.

Sekali lagi aku mengingat kenangan yang hampir kulupakan. Hari itu, hari dimana perubahan pada takdirku terjadi. Kamu akan datang untuk pernikahan kita yang akan berlangsung dua minggu lagi. Undangan telah disebar, tempat, catering, dan semua hal yang diperlukan sudah disiapkan oleh wedding operation yang sudah turun temurun menangani pernikahan keluarga kita. Pagi pagi sekali aku sudah bersiap untuk menjemputmu di bandara. Aku memesan taksi lewat telepon untuk menjemputku di apartemen. Kuletakkan gagang telepon dengan seulas senyum di bibir. Sepuluh menit lagi taksi akan menjemputku. Aku memasuki kamar dan tiba-tiba telepon berdering lagi.

Kuabaikan gagang telepon dan langsung berlari keluar. Aku tidak memikirkan taksi yang akan menjemputku sepuluh menit lagi, itu terlalu lama. Aku berlari mendekati jalan raya dan menyetop taksi yang lewat, sekitar tiga dan empat taksi melewatiku, mungkin karena di dalamnya ada penumpang. Setelah sekian banyak akhirnya aku mendapatkan taksi itu. Aku menuju bandara dengan hati yang tidak tenang. Pesawat yang membawamu dikabarkan jatuh ke lautan lepas dan belum ditemukan. Itulah akhir dari cerita kita. Bahkan kenanganpun serasa hilang dan pergi secara perlahan meninggalkanku.

Adel menunjukkan foto gaun pernikahannya, ia mengatakan bahwa konsep pernikahannya terinspirasi dari ide pernikahanku dulu. Ia melihat wajahku seketika muram. Ia menghiburku, mengatakan bahwa ini bukanlah akhir, ini adalah sebuah awal. Adel tersenyum sambil memegangi pundakku. Aku mengalihkan topik pembicaraan dengan mengatakan bahwa aku belum mengetahui calon suami Adel, bahkan namanyapun belum pernah disebutkan oleh Adel. Mendengar itu Adel tertawa, ia berjanji akan mengajakku makan malam bersamanya nanti.

Aku duduk di kursi kosong yang telah dipesan oleh Adel. Musik romantis mengiringi kesendirianku. Sepertinya aku datang terlalu awal. Jam tanganku menunggukan pukul setengah delapan lewat lima belas menit. Padahal Adel sudah mengatakan bahwa ia akan datang jam delapan tepat. Aku mulai bosan dan memainkan handphoneku. Membuka chat chat lama yang belum ku hapus, aku tersnyum saat melihat nama Ravo. Aku membaca semuanya dari awal. Terkadang aku tersenyum dan bahkan tertawa kecil. Pelayan dan pegunjung resto  menatapku aneh.

Pintu terbuka dan kulihat Adel masuk dengan menggenggam tangan seseorang. Dengan sekali  lirik dari kejauhan  aku bisa melihat lelaki itu keren. Aku menatap mereka yang semakin dekat. Ku usap usap mataku. Aku mengenali lelaki itu. Lelaki itupun sepertinya menyadari bahwa itu aku, tapi ia terlihat santai, seperti tidak ada beban. Dengan rona bahagia adel  duduk di kursi tepat di depanku, terdengan samar dia menyebut nama lelaki yang bersamanya, calon suaminya. Ravo, ya lelaki yang bersama Adel adalah Ravo, pria yang akhir akhir ini menjadi orang yang cukup berarti untukku.

Pandanganku semakin buram menghadap kedepan. Pikiranku sama sekali tidak menangkap apa yang dikatakan oleh adel. Perasaan ini seperti runtuh kembali. Lagi. Apa harus aku lagi? Apa aku memang tidak ditakdirkan bahagia? Apa aku harus seperti ini terus? Aku berlari keluar restoran tanpa memikirkan Adel yang mengkin kebingungan dengan sikapku yang tiba tibah menjadi aneh. Aku menahan tangisku tapi sepertinya mata ini benar benar lelah untuk membendung segalanya. Berdiri aku dibalik sebbuah tembok besar mengeluarkan segala sesal yang ada di dalam hati.

Pagi pagi sekali aku duduk di kursi taman dan meletakkan sebuah botol berisi surat. Sebuah permintaan kecil untuk orang orang yang aku sayang yang mungkin berada di kota indah ini. aku melemparkan botol tersebut ke arah sungai kecil yang ada di hadapanku. Kupejamkan mataku dan tersenyum “Mungkin memang bukan takdirku, hidupku masih panjang, ada atau tanpa kamu dan dia hidupku tak kan pernah berhenti”

Kulangkahkan kakiku meninggalkan taman, kulihat sekali lagi undangan pernikahan Adel dan Ravo yang sedari tadi kugenggam. Sore ini mereka berdua akan melaksanakan janji suci mereka menjadi pasangan suami istri. Aku tersenyum, di dalam hati aku berdoa agar mereka bahagia. Aku percaya Ravo adalah lelaki yang sangan baik, Adel akan baik baik saja bersamanya. Sebuah taksi lewat dan aku menyetopnya. Aku memasuki taksi dengan tekat bahwa aku tidak harus selalu bersedih. Kenangan yang ada akan aku tinggalkan disini. AJku ingin memulai hidupku lagi dari awal, mencoba mencintai dan dicintai. Tujuanku adalah bandara, aku pulang. Aku tinggalkan segala hal tentang Gino dan Ravo disini. Aku hanya ingin kota ini yang mengingatnya, bukan aku :-)

Karena Aku Wanita

Aku bingung mau mulai darimana. Aku bingung mau ceritain ini gimana. Yang aku tau dan yang aku ingat, kita sangat sangat dekat, bahkan sampai saat ini, sampai aku merangkai kata-kata di dalam tulisanku ini.

Cerita ini berawal saat aku memasuki tempat ini, tempat dimana kita pertama kali bertemu, tempat dimana kita menentukan mau jadi apa kita nantinya. Secara kebetulan atau entah karena takdir kita memasuki kelas yang sama. Setiap hari kita bertemu dan terkadang kita hang out atau sekedar menghabiskan akhir pekan untuk mengerjakan tugas tugas-kelompok.

Awalnya kita sekedar teman biasa, menghabiskan waktu bersama dan hanya sebatas teman sekelas, tidak lebih. Tapi siapa yang tau bahwa rasa ini tiba-tiba tumbuh dan tidak bisa ku kontrol? Aku tidak mengerti rasa ini apa, aku bahkan tidak mengerti bagaimana aku bisa memilikinya. Aku hanya mengira rasa ini hanya sekedar karna mengagumimu.

Aku berusaha mengabaikan rasa canggung yang tiba tiba mengusik disaat aku bersamamu. Aku bersikap biasa saja padahal desiran hati ini semakin terasa mengganggu. Aku bingung . Kita bahkan tidak pernah membahas hal hal yang bersifat pribadi dan kita belum pernah pergi hanya berdua. Bagaimana bisa aku bahkan tidak mempu menahan rasa ini muncul.

Hey kamu, taukah kamu bagaimana aku bisa menyembunyikan ini bahkan sampai hari ini? Sudah dua tahun sejak kita bertemu dan semuanya tidak berubah, kita masih berteman dan masih sama seperti dua tahun lalu. Mungkin menunggu selama dua tahun memang belum ada apa-apanya untukmu. Dan mungkin di luar sana masih banyak yang menunggu bahkan lebih dari ini. Aku akui aku tidak pernah setegar ini sebelumnya. Aku belum menyerah bahkan sampai sejauh ini pun sulit untuk aku percaya. Apa sebesar ini rasaku untukmu?
Aku mungkin hanya gadis bodoh, menunggu orang yang bahkan tidak pernah melirik kearahku. Aku terlalu keras kepala, aku egois karna aku ingin memilikimu. Aku ingin mengakui semuanya, tapi aku takut. Aku hanya tak ingin hubungan kita yang baik-baik saja selama ini berubah. Tapi itu hanyalah salah satu alasanku. Alasan utamaku adalah karena aku seorang wanita. Aku tidak dilahirkan untuk mengejar dan memulai lebih dulu. Masa bodoh tentang emansipasi dan hidup dijaman apa aku ini. Aku hanya tidak terbiasa untuk itu. Aku ingin menghormati kodratku dan menjaga harga diriku. Gengsi? Tidak sama sekali. Aku cukup menjatuhkan diriku sendiri dengan mengagumi dan ingin memilikimu, aku tidak ingin menjatuhkan diriku lagi lebih dari ini.

Sejauh ini aku bahagia kita begini, aku memang ingin memilikimu tapi tak pernah berharap itu akan jadi kenyataan. aku bisa melihatmu setiap hari, mendengar suaramu bicara padaku dan melihat senyummu setiap aku muncul di depan pintu masuk kelas kita, itu sudah lebih dari apa yang aku impikan. Aku memang pengecut, tapi aku juga sadar akan diriku sendiri, aku terlalu berani karna sudah memiliki rasa ini, bagaimana bisa aku memaksamu untuk memiliki rasa itu juga, aku tidak sejahat itu. Cukup dengan seperti ini dan selalu begini. Terimakasih karna sudah pernah ada di hidupku, terimakasih karna sudah membuatku memiliki rasa ini.

Theodora Dayanti I.R.M
28 Juni 2016